Saturday 16 June 2012

Policy Brief



Perumusan Kebijakan Publik dalam Pengendalian dan Penanggulangan Banjir dan Rob di Kota Semarang





Persoalan banjir dan  rob (genangan air yang berasal dari laut) merupakan permasalahan yang serius di Kota Semarang. Bahkan fakta berbicara bahwa masalah banjir ini secara ironis malah menjadi semacam branding yang cenderung negatif bagi Semarang. Jika terlintas dalam pikiran kita, setiap kota niscaya punya julukan/sebutan masing-masing dengan background dan kepentingan yang berbeda pula. Misalnya, terdapat julukan Kota Megapolitan maka Jakarta adalah jawabannya, lalu Bandung dengan sebutan Kota Kembang, Surabaya dengan sebutan Kota Pahlawan, Yogyakarta dengan Kota Budaya, sedangkan Semarang? Ya, Kota Banjir. Hal ini semakin dikuatkan dengan lagu khas Jawa Tengah yang dibawakan oleh maestro keroncong Waljinah, yaitu “Jangkrik Genggong” yang di awal lirik lagunya terdapat kalimat “Semarang kaline banjir...”. Maka tidaklah salah jika agenda kebijakan Pemerintah Kota Semarang menempatkan penanggulangan dan upaya menghadapi banjir dan rob ini dalam salah satu fokus perumusan kebijakan kota. Pemerintah Kota bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap perumusan dan implementasi kebijakan ini, tapi peran aktif masyarakat, swasta, LSM, maupun pihak lain yang peduli dapat menjadi kolaborasi kuat yang positif demi kepentingan bersama.



Permasalahan Banjir dan Rob di Kota Semarang
Rob dan banjir seolah tak pernah lepas dari identitas Kota Semarang. Konon, kota yang memiliki topografi perbukitan dan dataran rendah pada jarak yang relatif dekat itu telah mengalaminya sejak satu abad yang lalu. Berbagai cara untuk mengatasinya pun ditempuh. Kini upaya itu memasuki babak baru dengan pembenahan dari hulu hingga hilir. [1]

Upaya menangani rob dan banjir terus dilakukan sejak dulu. Pada tahun 1858 dan 1901 misalnya, dua kanal besar di sisi timur dan barat kota dibangun lewat heren diensten (kerja wajib) bagi kaum pribumi saat itu. Sejak itu, Semarang memiliki sungai yang dikenal sekarang sebagai Banjir Kanal Timur dan Barat.

Jika ditilik dari sejarah Kota Semarang, menurut seorang geolog Belanda terkenal Prof.Dr.Ir.R.W.Van Bemmelen, lebih kurang 500 tahun yang lalu keadaan Kota Semarang Jauh berbeda dari sekarang. Dikala itu garis pantai masih jauh menjorok ke dalam hingga ke bukit-bukit Gajahmungkur, Bukit Mugas, Mrican, Gunung Sawo Simongan dan bukit-bukit lain sekitarnya.[2]

Pada saat itulah hijrah Pangeran Made Pandan dan puteranya Raden Pandan Aran dari Kesultanan Demak menuju ke suatu tempat bernama Pulau Tirang.  Seperti yang ditulis oleh Amen Budiman dalam Buku “Semarang Riwayatmu Dulu”, lahirnya Kota Semarang diawali pada tahun 1398 Tahun Saka atau 1476 yaitu diawali dengan kedatangan seorang pemuda di daerah Mugas Bergota ( saat ini di Mugas Bergota berdiri rumah sakit terbesar di Jawa Tengah yaitu Rumah Sakit Umum Dr. Karyadi) yang di kala itu masih merupakan jazirah Pulau Tirang. Pemuda itu bernama Ki Pandan Arang. Kedatangannya bertujuan untuk mengislamkan masyarakat di daerah tersebut yang masih beragama Hindu dan Budha serta memajukan perekonomian melalui Pelabuhan Bergota dan Pemukiman China di sekitar Simongan, Gunung Batu.

Mungkin kita juga dapat membayangkan dari riwayat sejarah ini bahwa dulu belum ada istilah yang namanya kota atas dan kota bawah. Karena faktanya memang belum ada daratan di daerah yang disebut kota bawah sekarang ini. Daerah daratan di kota bawah muncul akibat terjadinya pendangkalan dan endapan lumpur hingga timbullah suatu daratan baru. Pendangkalan ini memperluas wilayah Semarang hingga ke daerah Bubakan. Pertama kali Semarang dibangun tatanan dasar sebuah kota dengan pemerintahan yang teratur adalah oleh Ki Ageng Pandan Arang di daerah Bubakan (di daerah dekat Pasar Johar dan Kota Lama sekarang).


Hingga kini garis pantai baru di sekitar daerah Sleko bersebelahan dengan Kali Semarang. Waktu itu keberadaan alur sungai Kali Semarang sangat penting karena merupakan alur transportasi dari daerah pantai ke pedalaman, perahu-perahu kecil hilir mudik menyusuri Kali Semarang dari pantai hingga ke Pelabuhan Mugas, Simongan, Gunung Batu.[3]

Dari uraian di atas maka tidaklah salah jika hingga saat ini pun kita masih akan sering dan bisa dipastikan bakal menemukan genangan air akibat rob di wilayah utara Semarang seperti Kaligawe, Kota Lama, Area Pelabuhan Tanjung Mas, dan wilayah sekitarnya. Faktor historis wilayah Kota Bawah yag berasal dari pengendapan dan pendangkalan wilayah laut tersebut tentu saja memberi pengaruh yang signifikan. Perlu dipahami juga bahwa, sebenarnya yang sering banjir di Semarang bukanlah pada sungai, melainkan rob atau air pasang dari laut. Semarang yang terletak di bawah permukaan laut menjadi banjir saat air pasang (rob) dan saat air hujan tidak tertampung di laut. Namun jika dikaji lagi lebih dalam faktor penyebab rob ini sangatlah bervariasi dan kompleks, dan semuanya hampir bersumber pada perilaku manusia yang kurang bijak memanfaatkan alam. Yakni kolaborasi perubahan iklim, penurunan tanah, dan kerusakan lingkungan.
                 
  Melihat semua kecenderungan ini maka pantaslah jika memasukkan persoalan banjir dan rob di Kota Semarang ini sebagai salah satu agenda khusus di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Semarang. Dampak dari kegiatan pengendalian banjir terhadap komponen lingkungan perlu perlu mendapat penanganan tuntas, sementara itu komponen lingkungan bukan terbatas pada lingkungan fisik semata, tetapi juga merupakan gabungan faktor-faktor fisik, sosial, dan budaya/kepribadian yang mempengaruhi masyarakat di lingkungan tersebut.[4]


                          Tabel I: Kondisi Sungai Berdasar Survei
                             Sumber: Sangkawati & Pranoto,2002
No
Kondisi
Tahun (1960-1970)
Sekarang
Jenis jawaban
%
Jenis jawaban
%
1
Sungai
Sempit, dangkal, lurus
28,6
Sisi sungai sudah ditembok
25
2
Sungai ketika hujan
Pernah banjir
43,2
Sering banjir
41
3
Banjir di lingkungan tinggal
Pernah banjir
34
Sering banjir
41
4
Penyebab banjir
Kiriman dari daerah ''atas"
33,4
Rob/air laut&luapan sungai & dari daerah atas
37
Koalisi Perumusan Kebijakan
Kegiatan konservasi air (baik dalam kuantitas maupun kualitas) dan juga pengendalian banjir dapat menimbulkan masalah baru yang kelak harus dibayar dengan mahal bila tidak direncanakan secara menyeluruh. Perencanaan menyeluruh meliputi teknik, ekonomi, kelembagaan dan tentunya lingkungan baik lingkungan fisik, biologi, maupun sosial budaya.[5]
Perumusan kebijakan penanggulangan banjir dan rob di Kota Semarang merupakan suatu subsistem kebijakan yang sejak perumusan hingga imlementasinya membentuk suatu policy networks atau jejaring kebijakan dari aktor-aktor, linkages diantara aktor-aktor dan boundary. Perumusan kebijakan penanggulangan banjir dan rob kota Semarang sebagai subsistem kebijakan membentuk jejaring kebijakan dan di dalamnya terdapat aktor, hubungan diantara aktor serta sistem nilai yang bersumber dari sistem kepercayan yang dimiliki para aktor. [6]


Tabel 2: Kerugian Materi Akibat Banjir



Gambar 2: Peta Terdampak Banjir dan Rob 


Secara teori, terdapat beberapa model kemitraan yang diterapkan yaitu:
1.Partisipasi Sektor Swasta (Private Sector Participation)
2.Kemitaraan Pemerintah dengan Swasta (Public-Private Partnership)
3.Kemitraan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat (Public, Private and Community Partnership)

Mengacu pada ketiga teori di atas maka teori pada poin terakhirlah yang saat ini telah diimplementasikan dalam perumusan kebijakan yang berbentuk jejaring kebijakan. Definisi konsepnya, mitra Swasta dan masyarakat membiayai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan Pemerintah tetap sebagai pemilik aset serta pengatur dan pengendali pelaksanaan kerjasamana. Termasuk keterlibatan ketiga pihak tersebut dalam perumusan kebijakan strategis dalam penanggulangan masalah banjir dan rob.

Kemitraan di antara sektor publik dan privat atau public private partnership (PPP) saat ini teah menjdai standar acuan konsep dalam lingkungan pemerintahan lokal. Belum ada kesepakatan dari para ahli bahwa PPP merupakan jawaban terhadap masalah-masalah pembangunan yang dihadapi negara dan pemerintah lokal saat ini. Namun secara umum mereka sepakat bahwa PPP merupakan pendekatan yang penting dalam mendesain dn melaksanakan strategi pembangunan.[7]

Perumusan kebijakan ini pada tahap perumusan alternatif menghasilkan beberapa alternatif masterplan drainase yaitu masterplan drainase dari Tim Subsistem, DPU Kota Semarang, Dinas Kimtaru Provinsi Jawa Tengah, Kedungsepur dan Bappeda Kota Semarang. Desakan penanganan banjir dan rob ini juga telah menjadi agenda warga di lapisan bawah mulai dari level RT/RW yang telah menuangkan pemikiran mereka bagi perkembangan daerah masing-masing melalui hasil Musyawarah Rencana Pembangunan Kelurahan. Hal tersebut tentu saja menjadi bahan kajian yang kemudian dituangkan dalam  Musyawarah Rencana Pembangunan kecamatan hingga Kota. Yang kemudian usulan penanganan banjir dan rob ini menjadi draft RPJP Kota Semarang 2005-2025.[8] RPJP kota Semarang telah ditindaklanjuti dalam Penyusunan Rencana pembangunan Jangka Menengah dengan melegitimasinya dalam bentuk Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kota Semarang Tahun 2005-2010. 

Gambar 3:
Peta Daerah Yang Rawan Terkena Banjir

Sumber: http://bagus-nuari.blogspot.com
  
Mekanisme perumusan kebijakan di kota Semarang sebagaimana tertuang dalam RPJPD dan RPJMD Kota Semarang adalah model Struktur bottom up dari masyarakat, RT/RW, Musrenbangkel, Musrenbangcam, Musrenbangkot kemudian menjadi bahan rancangan bagi Bappeda dan instansi pemerintah kota secara keseluruhan. 

Agenda Kebijakan
Kegiatan yang dilaksanakan sebelum banjir terjadi disebut kegiatan pengendalian banjir, sedangkan kegiatan yang dilakukan selama banjir berlangsung dan segera sesudah banjir berlalu disebut kegiatan penanggulangan banjir.[9]

Pengendalian banjir pada suatu daerah adalah unik. Hal ini dikarenakan sistem pengendalian banjir suatu daerah belum tentu atau tidak dapat diterapkan pada daerah lain. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk pengendalian banjir antara lain:
1. Pengurangan puncak banjir, yang ada pada umumnya dengan membuat reservoir (waduk)
2. Lokalisir aliran banjir di dalam alur sungai yang ditetapkan dengan tanggul, tembok banjir atau saluran tertutup
3. Penurunan permukaan puncak banjir dengan menaikkan besarnya kecepatan air, yaitu dengan perbaikan alur
4.  Pengalihan air banjir melalui sudetan atau saluran banjir (floodway) ke dalam alur sungai atau bahkan ke daerah aliran sungai lain
5.  Pengurangan limpasan banjir dengan pengolajhan lahan
6.  Pengolahan daratan banjir

                Melihat dari permasalahan yang terjadi, maka pengendalian banjir di daerah pantai yang sering dilakukan adalah dengan:[10]
  1. Membuat aliran air pada saluran atau sungai yang lebih lancar pada waktu permukaan air surut
  2. Mencegah aliran balik air laut melalui saluran atau sungai pada waktu permukaan air laut pasang.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi akses ke laut secara langsung dengan kata lain lewat mengurangi jumlah muara saluran-saluran drainase atau sungai-sungai kecil.

   Kini, penanganan banjir dan rob di Semarang memasuki babak baru. Bisa dikatakan baru karena penanganan dilakukan secara serentak, dari hulu ke hilir. Sebut beberapa upayanya yakni, normalisasi Banjir Kanal Barat, pembangunan Waduk Jatibarang, dan pembuatan Perda Drainase.[11]

Normalisasi Banjir Kanal Barat dan Pembangunan Waduk Jatibarang termasuk Proyek Pe­ngelolaan Terpadu Sumber Daya Air serta Penanggulangan Banjir di Semarang. Selain dua kegiatan itu, proyek yang didanai pinjaman dari Jepang tersebut juga menyebut satu proyek lain yakni perbaikan drainase. Normalisasi Banjir Kanal Barat dijadwalkan selesai tahun 2012 ini.  Sementara, pembangunan Waduk Jatibarang telah berjalan sekitar 40 persen. Tahun depan, waduk yang membendung Su­ngai Kreo sudah digenangi. Dua proyek itu bakal mengubah wajah Kota Semarang.

Pemkot Semarang saat ini juga menyiapkan Raperda Drainase. Aturan tersebut penting untuk menjadi payung hukum terhadap upaya penanganan banjir dan rob. Jika raperda itu ditetapkan, kemungkinan besar Semarang menjadi kota pertama di Indonesia yang memilikinya.

                Perumusan masterplan drainase sebagai alternatif penanggulangan banjir dan rob Kota Semarang selanjutnya dirumuskan sebagai alternatif kebijakan. Perumusan alternatif penyusunan masterplan drainase bagi kebijakan penanggulangan banir dan rob diajukan oleh beberpa pihak yaitu Tim Subsistem, DPUK dengan bantuan luar negeri dan DPUK dengan dana APBD, Dinas Kimtaru Provinsi Jawa Tengah dan Kedungsepur. Subsistem-subsistem ini merumuskan tujuh masterplan drainase, sebagai berikut:[12]
  1. Masterplan drainase Tim Subsitem disusun tahun 1990 sebagai dasar penyusuanan 2006: merumuskan kondisi drainase Kota Semarang yang telah ada akan tetapi perlu perbaikan pada: a) Kondisi saluran atau drainase dan  gorong-gorong; b) kondis pompa dan polder; c) kondisi pintu air; d) rincian anggaran yang dibutuhkan untuk memprbaiki saluran, pompa, polder, dan pintu air.
  2. Masterplan drainase JICA yang disusun tahun 1993 dan dilanjutkan kembali tahun 2000, untuk pembangunan Waduk Jatibarang dengan optimalisasi Kali Semarang tahun 2007,
  3. Masterplan drainase waterboard Belanda untuk penyususnan polder longstorage Kali Banger tahun 2007,
  4. Masterplan Dinas Kimtaru Provinsi Jawa Tengah: terutama fokus areanya pada drainase Bandara Ahmad Yani Semarang tahun 2006,
  5. Masterplan drainase SUDMP tahun 2007 yang membagi drainase daerah hulu dan hilir,
  6. Masterplan drainase Kota Semarang berfokus di kawasan Drainase Seemarang Timur yang disusun pada tahun 2006 dengan penyususnan DED Kali Tenggang,
  7. Masterplan Drainase Kedungsepur yang disusun tahun 2006 berfokus pada daerah-daerah perbatasan yang rawan banjir dan rob, terdiri dari:a) Pengendalian kerusakan pantai dan laut;b) konservasi daerah resapan air;c) pengendalian penurunan kualitas air;d) peningkatan air bersih;e) pengendalian banjir dan sedimentasi; f) pengendalian pengambilan air bawah tanah.
                Kebijakan yang akhirnya terumuskan dan tertuang dalam RPJMD Kota Semarang 2005-2010 berisi:
  •   Kebijakan: Pencegahan banjir dan penanggulangan rob dengan pembangunan sistem drainase wilayah dan kawasan yang diaktualisasikan dalam program sub fungsi jaringan drainase, berupa:
  1. Program pembangunan/peningkatan saluran dan sungai berupa:1)Pembentukan organisasi dan pengelolaan (O&P) drainase dan sungai,2)O&P pompa banjir,3)Peningkatan dan perbaikan pompa banjir
  2. rogram pengaturan debit limpasan air hujan, dengan kegiatan-kegiatan peleksanaan berupa:1)Penghijauan dan pembuatan sumur resapan,2)Pengendalian perijinan dan ketentuan,
  3. Program penanggulangan rob, dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan:1)Pembangunan stasiun pompa, 2)O&P Pantai. 


*Policy Brief ditulis Oleh @RidwanAb, Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
Harsastro,Priyatno.(2012).Desentralisasi dan Kerjasama Pemerintah- Swasta.Semarang:Forum, Majalah Pengembangan Ilmu Sosial.

J.Kodoatie,Robert & kawan-kawan(eds),2002,Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, hal.3.Yogyakarta:Andi

Suwitri,Sri,2008,Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik-Suatu Kajian Tentang Perumausan Kebijakan Penangggulangan Banjir dan Rob Pemerintah Kota Semarang,hal.55,Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/04/179142/Pembenahan-Dilakukan-dari-Hulu-hingga-Hilir

 


[2]Suwitri,Sri,2008,Jejaring Kebijakan Dalam Perumusan Kebijakan Publik-Suatu Kajian Tentang Perumausan Kebijakan Penangggulangan Banjir dan Rob Pemerintah Kota Semarang,hal.55,Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro
[3] Ibid
[4] J.Kodoatie,Robert & kawan-kawan(eds),2002,Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, hal.3.Yogyakarta:Andi
[5] Ibid
[6] Op. Cit., lih (2)
[7] Dalam artikel: Harsastro,Priyatno.(2012).Desentralisasi dan Kerjasama Pemerintah- Swasta.Semarang:Forum, Majalah Pengembangan Ilmu Sosial.
[8] Op. Cit., lih (2)
[9]Op. Cit., lih (4)
[10] Ibid
[12] Op. Cit., lih (2)

Sunday 29 April 2012

Give more, achieve more (even more and more)

Source: Google


Bagian cerita hidup kali ini, saya sebut Give more, achieve more (even more and more) :)

Masih sedikit berhubungan dan punya alur cerita yang mirip dengan postingan saya terdahulu Rp 1.000 x 10 = ? . Yup, sekali lagi saya merasakan bahwa Tuhan tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Jum'at 27 April yang lalu adalah titik mula cerita ini. Seusai sholat Jum'at di Masjid Pangeran Diponegoro (lagi), saya mencari kotak infaq yang tersedia di bagian belakang untuk tujuan akhir atas sejumlah uang yang telah saya siapkan. Yup, kali ini pun tak seberapa, hanya Rp 2.000,00. Seketika saya selipkan uang itu di lubang kotak tersebut, sambil lalu saya melihat selembar brosur di atas kotak. Yup, semacam brosur2 yang sering ada dan di sebarkan bagi jama'ah di masjid. Lalu terbawalah pulang kertas tersebut oleh tangan saya.

Coba tebak apa isinya??? *tepuk meja plisss* hehehe,

Dan... brosur kertas yang mungkin terabaikan oleh orang lain ini ternyata adalah sebuah tiket gratis (fasilitas sponsor) untuk sebuah seminar yang dilaksanakan hari ini, Minggu 29 April 2012, di Hall Masjid Agung Jawa Tengah. Sebelumnya saya tidak banyak berharap, tapi IYA pasti dalam setiap doa ada permohonan kepada-Nya untuk kelimpahan Rahmat serta Rejeki yang luas selalu terucap. Semua pasti tahu, rejeki bukan selalu dalam bentuk uang, karena turunnya hujan itu rejeki, kelengkapan anggota tubuh itu rejeki, udara yang kita hirup pun rejeki, dan banyak lagi. Betul tidak? :)

Yang terutama pada momen ini, bagi saya selembar tiket gratis tersebut adalah 'rejeki'. Saya meyakini ini merupakan 'sebuah balasan' yang Dia janjikan atas orang orang yang menyisihkan sebagian hartanya bagi orang lain. Biasanya saya berpikir 2/3x atau bahkan lebih untuk yang kaya gini (nemu nemu brosur). Tapi hari itu tidak. Cukup sekali saya baca, dan langsung saya tulis dalam agenda bahwa saya harus datang ke seminar tersebut. Pasti! Dan, Alhamdulillah puji syukur, karena Tuhan mengijinkan saya untuk datang dan mengambil banyak manfaat dari acara ini.

"How to be Debt Free+Launching Gerakan Kebangkitan Ekonomi Umat" 
Kebetulan kalimat di atas adalah tajuk acara tersebut. Yup acara ini diselenggarakan oleh Indonesia Islamic Business Forum (IIBF) Semarang. Pernah baca buku "10 Pengusaha Yang Memulai Bisnis dari Nol" karya Sudarmadi? Nhah, pembicara utama seminar ini adalah salah satu orang Indonesia yang ditulis kisah hidupnya dalam buku tersebut. Nama beliau adalah Heppy Trenggono. Direktur United Balimuda International, Presiden IIBF, dan penggagas Gerakan "Beli Indonesia" (Silahkan tanya Mbah Google untuk tahu profil lengkapnya).

Dalam perjalanannya, beliau pernah bangkrut 2 kali dalam usahanya, kerugiannya(utangnya) mencapai 35 miliar dan 62 miliar rupiah. Bayangkan, uang segitu untuk beli bakso bro :D *yahhh, bayangkan saja,hehe* Namun kini beliau adalah salah satu pengusaha yang sukses dan tidak segan berbagi kisah hidupnya bagi kepentingan dan kemajuan ummat banyak.

Peserta acara tadi pun tak hanya dari Semarang. Lampung, Jakarta, Kediri, Magetan, bahkan Kalimantan Timur pun ada yang datang. Salut saya atas usaha beliau beliau ini mengejar ilmu sampai Semarang.

Sedikit lepas dari siapa pembicara dan content acaranya yang bisa saya share di bagian lain (karena begitu berharganya isi seminar ini). Hal yang saya syukuri adalah ketika saya tahu, mereka yang ada di kursi peserta VIP di seminar ini haruslah membayar Rp 250.000,00 dan kursi reguler Rp 80.000,00. Subhanallah, dan saya hanya membayar 'RP 2.000,00' saja dengan ilmu-ilmu baru dan pengalaman yang sama bisa saya dapatkan. Kursi pun saya bisa nyempil ke bagian depan dengan pedenya :D

Yah walupun memang, pengecualian atas nasi kotak, snack, notes, & majalahnya yang tak saya dapat dan sebaliknya mereka dapat. Tapi bukankah orang yang datang ke seminar lebih karena motif: Siapa pembicaranya, apa topiknya, apa content pembicaraan speakernya, dan kadang (juga karena) berapa harga tiketnya, bukan apa fasilitasnya yang bisa di dapat?

Dan 'isi-isi' seminar itulah yang saya dapat. Antara lain point yang saya catat, bahwa kekayaan itu bukan pada 'berapa tabungan kita' tapi kekayaan itu adalah pada 'karakter seseorang'. Bahwa 'My Family is my number 1 client'. Bahwa hutang itu muncul karena ada 'benang merah' atas permasalahan karena kualitas hubungan kita dengan Tuhan dan orang lain. Bahwa Rejeki itu ada '4 level'. Juga lebih tahu kondisi real perekonomian di Indonesia dibanding sekeliling. Juga, bahwa saya lebih paham lagi  Tuhan harus selalu dilibatkan dalam setiap usaha kita. Jadi tahu lebih dalam 'peran' IMF dalam kemandekan produksi IPTN/PT DI dan perekonomian negara secara umum. Jadi lebih paham efek kapitalisme bagi Indonesia (baca: rakyat kecil Indonesia & negara berkembang lain), dan sebagai-bagainya.

Ah, terlalu banyak untuk dicatat bahkan. Bukankah itu rejeki yang berlimpah bro?



@RidwanAb * (sengaja saya sebutkan nominal asli sebagai perbandingan. Insya Allah tidak ada unsur riya' (Niat saya biar dinilai langsung sama Yang Maha Menilai) karena ada beberapa ahli/ulama yang tidak melarang kisah pemberian dibuka demi kepentingan syiar dan inspirasi bagi yang lain. Itu tujuan saya)




Thursday 19 April 2012

Semarang Great Sale


Semarang Great Sale: Evaluasi Program dari Sebuah Kemitraan Sektor Publik dan Privat


 Semarang Great Sale (Semargres) mulai diadakan rutin sejak dua tahun terakhir. Semenjak di rintis pertama kali tahun 2010, event ini selalu diselenggarakan pada penghujung tahun yaitu pada Bulan Desember. Seperti tahun sebelumnya, mulai 1 -31 Desember 2011 kemarin kota Semarang kembali mengadakan gawe besar yaitu Semarang Great Sale 2011.  Kegiatan ini menjadi program unggulan Walikota Soemarmo sejak terpilih sebagai Walikota Semarang, karena ingin memajukan kota Semarang sebagai kota jasa dan perdagangan.  Dimulai dengan Pameran Buku di Gedung Wanita, Pameran Komputer dan hampir sebagian besar mall dan pusat perbelanjaan di kota lumpia ini menawarkan potongan harga / diskon yang menarik.  

Bahkan ada mall yang mengadakan ”Midnight Sale” yaitu diskon besar menjelang tengah malam. Meski ada pro dan kontra terhadap kegiatan ini, namun patut diapresiasi langkah maju Walikota Semarang ini. Karena sudah menjadi rahasia umum sebelumnya bahwa banyak masyarakat kota Semarang yang mampu tetapi justru tidak membelanjakan uangnya di Semarang tapi justru ke luar kota bahkan ke luar negeri. Dengan konsep Semarang Great Sale, dimana hampir semua turut berpartisipasi baik itu mal, ruko, pertokoan, restoran, tempat wisata, kuliner, dll, diharapkan roda perekonomian di kota Semarang makin berputar dan bahkan kegiatan ini dapat mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara.

 Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi masyarakat kota Semarang dan visi kota Semarang sebagai kota jasa dan perdagangan dapat terwujud.   Jejaring/network yang dibangun tidak hanya mendasarkan kerja sama antar aktor dalam birokrasi pemerintahan tapi juga dengan masyarakat, pihak swasta yang berkepentingan bahkan kerja sama antar daerah yang terbentuk karena adanya kepentingan bersama yang menjadi pendorong adanya sinergi. Kemitraan diantara sekrot publik dan sektor privat atau public private partnership (PPP) saat ini telah menjadi standart konsep dalam lingkungan pemerintahan lokal (Harsastro, 2012:4). Dalam contoh kasus penyelenggaraan Semargres ini, para aktor membangun kolaborasi bersama dengan Pemkot Semarang berfungsi sebagai network manager. Dimana Pemkot Semarang memegang wewenang kekuasaan dalam jejaring, karena:

 (a) Pemkot Semarang yang mengontrol aliran sumber daya ini atau ada di pusat jejaring aktivitas kolaborasi antar aktor dalam network Semargres.
 (b) Network manager juga bertanggung jawab, membangun aliansi dengan kelompok-kelompok luar dan secara efektif menghubungkan kelompok stakeholders yang seringkali memiliki kepentingan yang bervariasi dan bisa bertabrakan. 

Dua kelompok ini penting bagi manajemen network, masing-masing memiliki kriteria sendiri dalam memberikan penilaian apakah jejaring sudah berjalan dengan baik. Disini, kelompok-kelompok luar dari sekor privat terdiri dari: Kadin Semarang, ASITA, Indonesia Marketing Association, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia Jawa Tengah, APPBI(Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia), dan KADIN Semarang. Dengan area kewenangan dan corework yang berbeda mereka menciptakan kolaborasi, saling berkerja sama dengan memanfaatkan dan memaksimalkan jejaring di masing-masing stakeholders. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dari fakta ini, yaitu (Harsastro, 2012:4):

(1)   Pencapiaan tujuan tiap-tiap aktor secara individual memerlukan aktivitas oleh aktor lain. Sehingga prinsip saling menyesuaikan secara bersama-sama (mutual adjustment) merupakan persyaratan utama.
(2)   Pengetahuan dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, terdistribusikan kepada berbagai aktor. Pentingnya suatu sumber daya bukanlah sesuatau yang given, tetapi tergantung nilai yang ditetapkan oleh aktor lain. Dukungan moral misalnya telah menjadi sumber daya penting dalam pengambilan keputusan. Kontrol terhadap sumber daya yang berserakan semacam ini menciptakan suatu dunia tanpa ada yang menjadi penanggungjawabnya.
(3)   Kompleksitas merupakan hasil dari proses aktor, disini sumber daya tak tergantikan untuk suatu aktivitas bersama. Tiap-tiap aktor masing-masing memebawa persepsi dan strategi mereka. 

Masyarakat sebagai sasaran utama perhelatan event ini merasakan banyak manfaat dengan banyaknya diskon, kemudahan dalam transaksi belanja, penawaran promo yang lebih dari biasanya. Hal ini memberikan masyarakat banyak pilihan dan alasan untuk berkunjung ke Semarang jika mereka dari luar kota, atau bagi masyarakat Semarang sendiri untuk bisa tetap tinggal menikmati Semarang lebih dalam apalagi penyelenggaran event ini bertepatan pada akhir tahun.

Sebagai evaluasi event Semarang Great Sale atau Semargres diharapkan bermanfaat untuk masyarakat secara luas tanpa melihat status sosial dan ekonomi. Dalam artian acara tidak hanya seremonial tapi langsung bersentuhan dengan rakyat kecil. Evaluasi tersebut antara lain :
 (a) Sejauh ini program Semargres belum bersinggungan langsung dengan masyarakat. Masih banyak kegiatan yang hanya bersifat seremonial tanpa melibatkan rakyat golongan menengah ke bawah.
(b) Potongan harga yang diberikan masih sebatas untuk kalangan menengah atas, seperti diskon di pusat perbelanjaan, toko, mal, restoran, kafe, hotel, dan tempat wisata yang kadang tidak terjangkau masyarakat menengah bawah (belum ada data pasti yang mendukung).
(c) Belum ada arah kebijakan untuk mencoba membuat program potongan harga yang bisa menguntungkan rakyat kecil seperti misalnya melibatkan aktor lain yang lebih luas yang berasal dari instansi pemerintahan/BUMN/BUMD. Misalnya saja diskon tarif PDAM, operasi pasar untuk sembako murah dengan melibatkan BUMN, pelayanan kesehatan dan pengobatan murah langsung ke tengah area masyarakat pinggiran, dll. 

Jadi program Semargres sebaiknya tidak sekadar dirasakan oleh pihak kedua yaitu sektor privat dan masyarakat kelas menengah atas. Sebab program ini menggunakan APBD sebanyak Rp 450 juta. Namun di sisi lain,  hasil evaluasi penyelenggaraan Semarang Great Sale  banyak partisipan menilai, kegiatan ini membawa hasil yang positif dan signifikan. Omzet penjualan lebih tinggi dan jumlah pengunjung meningkat dibanding dengan sebelumnya. Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat okupansi di Kota Semarang meningkat sekitar 15% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

Dalam perhelatan ini, Kadin Jawa Tengah dan PT Suara Merdeka Group menjadi mitra pendukung Pemkot Semarang. Sinergitas tersebut  juga didukung APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia) Jateng dan DIY, serta Aprindo (Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia) Jateng yang berada di garda depan dalam kesuksesan acara ini, di samping PHRI, ASITA, Pusat Oleh-Oleh dan Jajan Jl Pandanaran, UMKM, serta tempat wisata dan hiburan Kota Semarang. 

Dengan jejaring yang luas di atas, yang kebetulan jika penulis boleh menilai jejaring ini (selain pemkot) beranggotakan para golongan atas dan para pemilik modal dan sangat berorientasi pada profit bagi jaringan usahanya. Karena para ketua asosiasi-asosiasi tersebut beserta anggotanya merupakan kumpulan para pengusaha Semarang yang bergerak di berbagai bidang usaha. Hal inilah yang menurut saya penting untuk dijadikan pemikiran Pemerintah Kota bagi penyelenggaraan di tahun berikutnya. Saran dari penulis :

(1)            Orientasi penyelenggaraan Semarang Great Sale sebaiknya diarahkan tidak hanya pada pergerakan dan perputaran ekonomi semata, tapi juga menekankan pada ranah sosial dengan harapan manfaatnya dapat menyentuh segenap lapisan masyarakat
(2)            Manajemen network yang melibatkan unsur-unsur lain seperti dari Komunitas-komunitas common interest di Semarang atau sosial masyarakat di Semarang, dan BUMN/D
(3)            Menyerahkan fungsi pengawasan dan kontrol network dari Pemerintah Kota Semarang kepada salah satu SKPD/ Dinas yang terkait (misalnya: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pengelolaan Pasar, atau Dinas pengelola Kekayaan Daerah) sebagai landasan alokasi pos APBD yang lebih jelas dan dapat memaksimalkan potensi PAD bagi Kota Semarang

Ke depannya, event Semarang Great Sale yang diadakan untuk membangkitkan semua potensi yang ada di Kota Semarang untuk memajukan kepariwisataan dan perdagangan semoga dapat memberikan manfaat yang lebih meluas terutama semua masyarakat di berbagai kelas. Tidak hanya terlihat megah, tapi dapat langsung dirasakan senagai salah satu fungsi pelayanan publik yang memadai.






Sumber: 
- Studi pustaka dari berbagai media dan observasi
-"Desentralisasi dan Kerja Sama Pemerintah - Swasta" oleh Priyatno Harsastro, Majalah Penegmbangan Ilmu Sosial 'FORUM', FISP, UNDIP Vol. 40-1. Februari 2012 



@RidwanAb