Thursday 30 May 2013

Ikatlah Ilmu dengan Tulisan




Pernah saya baca sebuah kalimat sakti di linimasa Twitter. Sayang, sampai sekarang belum saya tahu siapa yang pertama kali melotarkannya. “Ikatlah ilmu dengan tulisan” begitu kira-kira bunyinya. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut saya kira kita dapat memaknai apa kandungan kalimat ini.

Kenapa kalimat di atas saya katakan sakti? Karena memang benar demikian adanya. Saya setuju, dan saya yakin anda juga setuju.  Argumen paling sederhana yang dapat menjadi topangan pembenaran atas kalimat tersebut mungkin adalah soal ide yang sering kali menguap dari pikiran kita.

Saat Inspirasi Muncul, Tangkaplah

Saya pernah kuliah di Semarang sedangkan domisili asli adalah di Sukoharjo. Range lokasi ke dua kota di Jawa Tengah ini lebih dari 100 Km yang biasa saya tempuh dengan sepeda motor. Jika di kalkulasi dalam satuan waktu, maka jarak sedemikian tadi rata-rata saya capai dalam waktu  2,5 – 3 Jam. Tergantung kecepatan dan kepadatan kendaraan di jalanan. Dalam jangka 4 tahunan terakhir, maka sudah tak terhitung berapa kali jalur Sukoharjo-Solo-Boyolali-Salatiga-Kab. Semarang-Kota Semarang saya lalui, pulang pergi. Pula berapa jam yang saya habiskan untuk berada di jalanan.

Pada saat-saat mengaspal di jalanan itulah, waktu kritis yang sering saya temui akan dinamisnya pikiran saya meloncat-loncat asimetris. Imajinasi pun turut bergerak tanpa batas, tentang semua hal. Terutama perkara-perkara kehidupan yang saya alami, hal-hal yang saya sukai, masa depan, soal urusan perkuliahan, organisasi, urusan hati,  keluarga, ataupun berbagai kejadian yang saya temui selama perjalanan. Sebagian orang menyebutnya, inspirasi. Bisa dibayangkan? Tentu tak semua orang menemukan momen yang sama dengan saya. Jadi, dimana anda biasa bertemu dengan inspirasi semacam ini?

Celakanya, saat-saat afirmasi diri dalam perkembangan ide/inspirasi ini rupanya terlampau mudah saya abaikan. Tetap menjadi bayangan dalam memori, yang jika saya sedang beruntung dapat saya ingat kembali ketika membutuhkannya untuk diaplikasikan dalam taraf praktris kehidupan sehari-hari. Soal skripsi saya dulu misalnya.

Kebetulan juga, saya dianugerahi memori ingatan yang agak kurang dalam menangkap suatu detail. Meskipun saya tak pernah melupakan moment. Contohnya:  Saya ingat siapa pacar pertama saya, tapi saya tak ingat kapan kami jadian atau kapan kami berpisah. Oh tunggu dulu, kalau yang ini karena memang tidak penting untuk diingat dan ada faktor kesengajaan untuk tidak mengingat-ingat.

Baik kita tinggalkan sedikit sesi curhat yang tadi. Rupanya saya menyadari juga apa yang telah terlewat di belakang itu salah. Alhamdulillah saya sadar, jadi tak peduli berapa jauh jalan salah yang telah anda jalani, putar arah sekarang juga. Begitu kalau Rhenald Khasali bilang sebagai tagline dalam buku “Change” nya.

Akhirnya, saya coba memulai menulis, apapun yang saya ingin tulis. Walaupun kadang bersahabat dengan hasrat menulis itu tidaklah mudah. Begitu kalau kata para penulis. Media blog, menjadi kanvas putih sensual yang memotivasi saya untuk terus diwarnai dengan tulisan-tulisan yang lebih banyak.
Setelah setahun yang lalu postingan pertama saya buat, saya belajar bahwa saya telah banyak belajar selama proses menulis. Konten yang lebih berkembang, dengan gaya penulisan yang menurut saya lebih baik. Itu menurut saya.

Selain itu, kalau buka folder di laptop pun ada beberapa tulisan yang tersimpan tentang macam-macam hal. Namun sayang, semua terhanyut bersama tenggelamnya kemampuan hard disk si Alexandra (baca:laptop) dalam bekerja. Dia telah tiada membawa bergiga-giga memori bersamanya. Selamanya.
Oya, Twitter pun kadang bisa jadi media walaupun terbatas. Pernah juga saya mencoba membuat serial twit tertentu. Yah tentu dengan konten yang saya mengerti dan memang ingin saya bagi. Sok-sokan jadi seleb twit, ceritanya.

Hanya kekurangannya memang kicauan kita sering terinjak kicauan-kicauan yang menumpuk di atasnya. Jadi agak susah dan mungkin sedikit merepotkan kalau harus nyecroll2 lagi mencari kicauan yang tersembunyi diantara ratusan, ribuan, pulahan ribu atau bahkan ratusan ribu kicauan yang telah terposting. Tergantung seberapa “cerewet”  anda di dunia microbloging.

Kalaupun memang niat ingin menggali “harta karun” yang agak terpendam di dalam juga ada caranya kok. Coba cek setting twitter via web, jika ada “your twitter archive” berarti bisa cek kicauan yang lalu-lalu bahkan kicauan paling pertama kali di sajikan. Terima kasih untuk peristiwa CEK TL TAHUN LALU-nya politikus Budiman Sudjatmiko yang membuat saya mengerti cara ini. Silahkan tersenyum jika anda tahu maksud saya.

Pada satu titik tertentu, saya menemukan jalan yang saya rasa sudah benar untuk lanjut saya tapaki, sebuah turning point. Saya juga mengangguk pelan dengan wajah terhias senyuman kecil ketika mengingat lagi kalimat “Ikatlah ilmu dengan tulisan” di atas pada saat semakin banyak menulis. “Oh (mungkin) ini ya maksutnya” kata saya dalam hati.

Jadilah saya memaksa diri untuk belajar rajin menulis, apapun sesuai yang saya suka dan saya tahu. Proses ini pula yang kemudian memaksa saya untuk mengembangkan wawasan lewat membaca, dari obrolan-obrolan, menangkap makna kehidupan, dan sebagainya. Itulah ilmu yang kemudian harus diikat. Karena saya temukan juga bahwa saat saya belajar lebih banyak hal, saya ternyata jadi tahu kalau saya masih banyak tidak tahu.

Dalam sebuah talkshow Rumah Perubahan-nya di TVRI, Rhenald Khasali sang Guru Besar Ilmu Manajemen dari Kampus Kuning dan social entrepreneur ini bercerita. Bahwa dia sudah sangat terbiasa menulis minimal seminggu sekali. Kalau sampe terlewat, untuk memulianya lagi rasanya gamang bagi beliau. Gatal rasanya. Maka tak heran kalau sudah sekian buku dan ratusan artikel mungkin yang telah beliau hasilkan. Itu baru yang saya ketahui.

Seorang Dahlan Iskan pun mengajarkan bagaimana sebuah tulisan dapat menjadi kekuatan dalam memotivasi, menumbuhkan optimisme, dan mempengaruhi bayak orang dalam kerangka yang positif. CEO Notes yang sering beliau buat dan sebarkan selama menjadi direktur utama PLN telah membuat sebuah perbedaan dalam mendongkrak kinerja perusahaan. A different style of leading in a state institution. Sebagai catatan, CEO Notes ini menyebar di dalam milis internal PLN sampai ke level karyawan paling bawah. Semua pegawai bisa membaca, dan semua orang di dalam perusahaan pemerintah berlogo petir ini bisa mengerti arah mana yang diinginkan pimpinanya untuk dicapai bersama-sama. Setahu saya, sampai saat ini Dahlan Iskan masih tetap menulis banyak hal terutama berbagai pencapaian perusahaan-perusahaan yang ada di bawak kementrian BUMN-nya. Kolomnya pun tersedia khusus di salah satu portal media online (klik: Kolomnya). Memang latar belakang beliau sebagai wartawan dan juga memiliki sebuah jaringan perusahaan berita nasional, saya pikir ikut mempengaruhi keaktifan beliau dalam menulis. Tapi tak harus jadi wartawan untuk bisa menulis kan.

Pesan orang bijak lain menyebutkan, “ Ketika kehidupan mengajarkan kebahagiaan maka tulislah kenangannya di atas batu, jika kehidupan mengajarkan kekecewaan maka tulislah kenangannya di atas pasir”. Analoginya sederhana, menulis dia atas batu akan bertahan lama dan mungkin tidak akan hilang layaknya prasasti-prasasti peninggalan kerajaan di nusantara. Sedang menulis di atas pasir akan tetap terbaca, namun kemudian dapat hilang di sapu ombak atau angin. Maksudnya menulis di media yang tepat dan tindakan menulis itu sendiri akan menjadi guru yang abadi bagi kita, mungkin seperti itu maknanya.

Are you Story Teller enough?

Menurut saya kema(mp)uan menulis ini juga selaras dengan keahlian kita menjadi seorang story teller. Pencerita, atau pendongeng yang mampu menggiring imajinasi dan mind set pembacanya ke arah yang kita inginkan. Seperti buku-buku favorit yang kita miliki, para penulisnya berhasil dengan gemilang menghipnotis kita dalam visualisasi yang kita tak mengerti bisa muncul dalam lamunan. Dengan rangkaian diksi yang tepat maka sudah semestinya tulisan perlu dibuat dengan konten yang positif, tujuan yang baik, informatif, dan imajinatif walau pastinya di hidangkan dalam berbagai gaya yang khas sesuai karakter si penulis.  

Saya juga bersyukur pernah mengalami masa yang indah bersama skripsi. Proses inilah yang mengajari saya mendesain ulang kerangka berpikir menjadi lebih sistematis, menata cara pandang akan suatu persoalan, berargumen dengan dasar data yang akurat, mengembangkan gagasan dari satu ide pokok, dan mengais-ngais bahan bacaan dari berbagai sumber yang rupanya lumayan menambah masaa otak saya beberapa cc. Terima kasih pula untuk 2 dosen pembimbing saya yang memberi andil atas posisi saya di masa sekarang. Mereka jugalah yang membuat saya tak perlu repot-repot lagi mengalokasikan waktu untuk melakukan proses penyempurnaan (baca:revisi) setelah sidang skripsi.

Oya, Kalau ada yang bilang nulis skripsi itu susah maka saya 100% tak setuju. Terserah anda akan bilang apa, terutama bagi mereka generasi mahasiswa tingkat akhir yang sedang mencoba berdamai dengannya. Nulis sskripsi itu mudah kok, mau bukti? Oke, sekarang buka laptop dan program Ms. Word-mu. Lalu ketik S – K – R – I – P – S – I. Mudah kan? Jadi deh SKRIPSI.

Sekarang saya tanya, apa anda masih rela punya ide, inspirasi, dan imajinasi yang (mungkin) akan berharga tapi tersingkir lenyap begitu saja? Saya rasa tidak. Maka marilah kita menulis. Mengikat ilmu titipan dari Sang Kuasa lewat alam kepada kita. Dengan begitu si ilmu tak hanya bermanfaat bagi kita tapi juga bagi orang-orang di sekitar kita. Bukankah demikian itu hakekat seorang manusia? Jadi, mulailah menulis dari apa yang disuka, mulailah dari yang sederhana, mulailah sekarang juga. Kalau saya sendiri lupa, bolehlah kita saling mengingatkan.

“Tulis apa yang kamu lakukan, lakukan apa yang kamu tulis..”




*Tulisan inipun spontan saya buat ketika sedang meratapi modem yang tak bersahabat dengan laptop. Tiba-tiba pengen buka Word, terus jadilah tulisan sederhana ini dalam waktu kurang lebih setengah jam saja (sebelum editing). Saya pantas dapet P*P Mie untuk prestasi ini. Sekian dan terima kasih sayang


No comments:

Post a Comment