Pernah saya baca
sebuah kalimat sakti di linimasa Twitter. Sayang, sampai sekarang belum saya
tahu siapa yang pertama kali melotarkannya. “Ikatlah ilmu dengan tulisan” begitu
kira-kira bunyinya. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut saya kira kita dapat memaknai
apa kandungan kalimat ini.
Kenapa
kalimat di atas saya katakan sakti? Karena memang benar demikian adanya. Saya
setuju, dan saya yakin anda juga setuju.
Argumen paling sederhana yang dapat menjadi topangan pembenaran atas
kalimat tersebut mungkin adalah soal ide yang sering kali menguap dari pikiran
kita.
Saat Inspirasi Muncul, Tangkaplah
Saya pernah
kuliah di Semarang sedangkan domisili asli adalah di Sukoharjo. Range lokasi ke
dua kota di Jawa Tengah ini lebih dari 100 Km yang biasa saya tempuh dengan
sepeda motor. Jika di kalkulasi dalam satuan waktu, maka jarak sedemikian tadi
rata-rata saya capai dalam waktu 2,5 – 3
Jam. Tergantung kecepatan dan kepadatan kendaraan di jalanan. Dalam jangka 4
tahunan terakhir, maka sudah tak terhitung berapa kali jalur
Sukoharjo-Solo-Boyolali-Salatiga-Kab. Semarang-Kota Semarang saya lalui, pulang
pergi. Pula berapa jam yang saya habiskan untuk berada di jalanan.
Pada saat-saat
mengaspal di jalanan itulah, waktu kritis yang sering saya temui akan
dinamisnya pikiran saya meloncat-loncat asimetris. Imajinasi pun turut bergerak
tanpa batas, tentang semua hal. Terutama perkara-perkara kehidupan yang saya
alami, hal-hal yang saya sukai, masa depan, soal urusan perkuliahan,
organisasi, urusan hati, keluarga, ataupun
berbagai kejadian yang saya temui selama perjalanan. Sebagian orang
menyebutnya, inspirasi. Bisa dibayangkan? Tentu tak semua orang menemukan momen
yang sama dengan saya. Jadi, dimana anda biasa bertemu dengan inspirasi semacam
ini?
Celakanya, saat-saat
afirmasi diri dalam perkembangan ide/inspirasi ini rupanya terlampau mudah saya
abaikan. Tetap menjadi bayangan dalam memori, yang jika saya sedang beruntung
dapat saya ingat kembali ketika membutuhkannya untuk diaplikasikan dalam taraf
praktris kehidupan sehari-hari. Soal skripsi saya dulu misalnya.
Kebetulan
juga, saya dianugerahi memori ingatan yang agak kurang dalam menangkap suatu detail.
Meskipun saya tak pernah melupakan moment. Contohnya: Saya ingat siapa pacar pertama saya, tapi
saya tak ingat kapan kami jadian atau kapan kami berpisah. Oh tunggu dulu,
kalau yang ini karena memang tidak penting untuk diingat dan ada faktor kesengajaan
untuk tidak mengingat-ingat.
Baik kita
tinggalkan sedikit sesi curhat yang tadi. Rupanya saya menyadari juga apa yang
telah terlewat di belakang itu salah. Alhamdulillah saya sadar, jadi tak peduli berapa jauh jalan salah yang telah anda jalani, putar arah sekarang juga. Begitu kalau Rhenald
Khasali bilang sebagai tagline dalam buku “Change” nya.
Akhirnya,
saya coba memulai menulis, apapun yang saya ingin tulis. Walaupun kadang
bersahabat dengan hasrat menulis itu tidaklah mudah. Begitu kalau kata para
penulis. Media blog, menjadi kanvas putih sensual yang memotivasi saya untuk
terus diwarnai dengan tulisan-tulisan yang lebih banyak.
Setelah
setahun yang lalu postingan pertama saya buat, saya belajar bahwa saya telah
banyak belajar selama proses menulis. Konten yang lebih berkembang, dengan gaya
penulisan yang menurut saya lebih baik. Itu menurut saya.
Selain itu,
kalau buka folder di laptop pun ada beberapa tulisan yang tersimpan tentang
macam-macam hal. Namun sayang, semua terhanyut bersama tenggelamnya kemampuan
hard disk si Alexandra (baca:laptop) dalam bekerja. Dia telah tiada membawa
bergiga-giga memori bersamanya. Selamanya.
Oya, Twitter
pun kadang bisa jadi media walaupun terbatas. Pernah juga saya mencoba membuat
serial twit tertentu. Yah tentu dengan konten yang saya mengerti dan memang
ingin saya bagi. Sok-sokan jadi seleb twit, ceritanya.
Hanya
kekurangannya memang kicauan kita sering terinjak kicauan-kicauan yang menumpuk
di atasnya. Jadi agak susah dan mungkin sedikit merepotkan kalau harus
nyecroll2 lagi mencari kicauan yang tersembunyi diantara ratusan, ribuan,
pulahan ribu atau bahkan ratusan ribu kicauan yang telah terposting. Tergantung
seberapa “cerewet” anda di dunia
microbloging.
Kalaupun
memang niat ingin menggali “harta karun” yang agak terpendam di dalam juga ada
caranya kok. Coba cek setting twitter via web, jika ada “your twitter archive”
berarti bisa cek kicauan yang lalu-lalu bahkan kicauan paling pertama kali di sajikan. Terima
kasih untuk peristiwa CEK TL TAHUN LALU-nya politikus Budiman Sudjatmiko yang
membuat saya mengerti cara ini. Silahkan tersenyum jika anda tahu maksud saya.
Pada satu
titik tertentu, saya menemukan jalan yang saya rasa sudah benar untuk lanjut
saya tapaki, sebuah turning point. Saya juga mengangguk pelan dengan wajah
terhias senyuman kecil ketika mengingat lagi kalimat “Ikatlah ilmu dengan
tulisan” di atas pada saat semakin banyak menulis. “Oh (mungkin) ini ya
maksutnya” kata saya dalam hati.
Jadilah saya memaksa diri untuk belajar rajin
menulis, apapun sesuai yang saya suka dan saya tahu. Proses ini pula yang
kemudian memaksa saya untuk mengembangkan wawasan lewat membaca, dari
obrolan-obrolan, menangkap makna kehidupan, dan sebagainya. Itulah ilmu yang
kemudian harus diikat. Karena saya temukan juga bahwa saat saya belajar lebih
banyak hal, saya ternyata jadi tahu kalau saya masih banyak tidak tahu.
Dalam sebuah
talkshow Rumah Perubahan-nya di TVRI, Rhenald Khasali sang Guru Besar Ilmu
Manajemen dari Kampus Kuning dan social entrepreneur ini bercerita. Bahwa dia
sudah sangat terbiasa menulis minimal seminggu sekali. Kalau sampe terlewat,
untuk memulianya lagi rasanya gamang bagi beliau. Gatal rasanya. Maka tak heran
kalau sudah sekian buku dan ratusan artikel mungkin yang telah beliau hasilkan.
Itu baru yang saya ketahui.
Seorang
Dahlan Iskan pun mengajarkan bagaimana sebuah tulisan dapat menjadi kekuatan
dalam memotivasi, menumbuhkan optimisme, dan mempengaruhi bayak orang dalam
kerangka yang positif. CEO Notes yang sering beliau buat dan sebarkan selama
menjadi direktur utama PLN telah membuat sebuah perbedaan dalam mendongkrak
kinerja perusahaan. A different style of leading in a state institution. Sebagai
catatan, CEO Notes ini menyebar di dalam milis internal PLN sampai ke level
karyawan paling bawah. Semua pegawai bisa membaca, dan semua orang di dalam
perusahaan pemerintah berlogo petir ini bisa mengerti arah mana yang diinginkan
pimpinanya untuk dicapai bersama-sama. Setahu saya, sampai saat ini Dahlan
Iskan masih tetap menulis banyak hal terutama berbagai pencapaian
perusahaan-perusahaan yang ada di bawak kementrian BUMN-nya. Kolomnya pun
tersedia khusus di salah satu portal media online (klik: Kolomnya). Memang latar belakang beliau sebagai wartawan
dan juga memiliki sebuah jaringan perusahaan berita nasional, saya pikir ikut mempengaruhi keaktifan beliau dalam menulis. Tapi tak harus jadi wartawan
untuk bisa menulis kan.
Pesan orang
bijak lain menyebutkan, “ Ketika kehidupan mengajarkan kebahagiaan maka
tulislah kenangannya di atas batu, jika kehidupan mengajarkan kekecewaan maka
tulislah kenangannya di atas pasir”. Analoginya sederhana, menulis dia atas
batu akan bertahan lama dan mungkin tidak akan hilang layaknya
prasasti-prasasti peninggalan kerajaan di nusantara. Sedang menulis di atas
pasir akan tetap terbaca, namun kemudian dapat hilang di sapu ombak atau angin.
Maksudnya menulis di media yang tepat dan tindakan menulis itu sendiri akan
menjadi guru yang abadi bagi kita, mungkin seperti itu maknanya.
Are you Story Teller enough?
Menurut saya
kema(mp)uan menulis ini juga selaras dengan keahlian kita menjadi seorang story
teller. Pencerita, atau pendongeng yang mampu menggiring imajinasi dan mind set
pembacanya ke arah yang kita inginkan. Seperti buku-buku favorit yang kita
miliki, para penulisnya berhasil dengan gemilang menghipnotis kita dalam
visualisasi yang kita tak mengerti bisa muncul dalam lamunan. Dengan rangkaian
diksi yang tepat maka sudah semestinya tulisan perlu dibuat dengan konten yang
positif, tujuan yang baik, informatif, dan imajinatif walau pastinya di
hidangkan dalam berbagai gaya yang khas sesuai karakter si penulis.
Saya juga
bersyukur pernah mengalami masa yang indah bersama skripsi. Proses inilah yang
mengajari saya mendesain ulang kerangka berpikir menjadi lebih sistematis, menata
cara pandang akan suatu persoalan, berargumen dengan dasar data yang akurat,
mengembangkan gagasan dari satu ide pokok, dan mengais-ngais bahan bacaan dari
berbagai sumber yang rupanya lumayan menambah masaa otak saya beberapa cc.
Terima kasih pula untuk 2 dosen pembimbing saya yang memberi andil atas posisi
saya di masa sekarang. Mereka jugalah yang membuat saya tak perlu repot-repot
lagi mengalokasikan waktu untuk melakukan proses penyempurnaan (baca:revisi)
setelah sidang skripsi.
Oya, Kalau
ada yang bilang nulis skripsi itu susah maka saya 100% tak setuju. Terserah
anda akan bilang apa, terutama bagi mereka generasi mahasiswa tingkat akhir
yang sedang mencoba berdamai dengannya. Nulis sskripsi itu mudah kok, mau
bukti? Oke, sekarang buka laptop dan program Ms. Word-mu. Lalu ketik S – K – R
– I – P – S – I. Mudah kan? Jadi deh SKRIPSI.
Sekarang
saya tanya, apa anda masih rela punya ide, inspirasi, dan imajinasi yang
(mungkin) akan berharga tapi tersingkir lenyap begitu saja? Saya rasa tidak.
Maka marilah kita menulis. Mengikat ilmu titipan dari Sang Kuasa lewat alam
kepada kita. Dengan begitu si ilmu tak hanya bermanfaat bagi kita tapi juga
bagi orang-orang di sekitar kita. Bukankah demikian itu hakekat seorang
manusia? Jadi, mulailah menulis dari apa yang disuka, mulailah dari yang sederhana,
mulailah sekarang juga. Kalau saya sendiri lupa, bolehlah kita saling
mengingatkan.
“Tulis apa yang kamu lakukan, lakukan
apa yang kamu tulis..”
*Tulisan inipun spontan saya buat
ketika sedang meratapi modem yang tak bersahabat dengan laptop. Tiba-tiba
pengen buka Word, terus jadilah tulisan sederhana ini dalam waktu kurang lebih
setengah jam saja (sebelum editing). Saya pantas dapet P*P Mie untuk prestasi
ini. Sekian dan terima kasih sayang
No comments:
Post a Comment