Friday 24 May 2013

(sedikit) Yang Tersisa dari Premiere League 2012/2013

source: manutd.com


Hari ini tepat 13 hari setelah pasukan terakhir Sir Alex Ferguson mengangkat trophy Premiere League untuk musim 2012/2013. Dan 5 hari berlalu sejak pertandingan terakhir premiere league secara keseluruhan tersaji. Yah, mulailah masa-masa merana bagi para kaum penyendiri yang hanya memiliki sepakbola sebagai belahan hatinya. Tiada lagi arena pelarian untuk mereka di kala Sabtu malam dihabiskan. Bagi mereka malam minggu bukan lah hari bercinta, ini adalah hari sepak bola bagi kami. Eh, mereka.

Anda pasti sudah tahu apa maksud saya mengatakan 'pasukan terakhir' SAF kan. Jadi saya tak akan banyak membahas soal ini. Bagi saya, melihat SAF pensiun sama seperti menyadari bahwa orang yang saya cintai ternyata memilih orang lain. Sakit, sulit dipercaya, tapi pasti terjadi, dan terpaksa harus dinikmati. Masa seperti ini mengajarkan saya untuk ikhlas dalam level yang tidak biasa, however life must go on. Right? Meski begitu juga, optimisme tetap terjaga bahwa MU masih akan berjaya di tahun-tahun selanjutnya. SAF terlalu lama berada di Old Trafford dan mengawasi para pemain berlatih di Carrington. Inilah kelebihannya, karena MU sudah terbiasa dengan kestabilan, kondisi financial yang kuat, brand yang mendunia, dan pemain-pemain yang loyal terhadap klub, serta tradisi prestasi yang juga dapat dibanggakan. MU bukanlah tipe klub yang berganti manajer hampir setiap musim, seperti Chelsea misalnya. Hingga Gary Neville pun dengan lugas menggambarkan seperti apa nilai yang dianut United ketika ia mengatakan bahwa,“United is not a stupid club...that changes the manager every 10 minutes." (dari Pangeran Siahaan). SAF lah sang arsitek dari sebuah sejarah bernama Manchester United. SAF adalah Manchester United itu sendiri.

Lalu, apalagi yang tersisa di dalam memori kita tentang perjalanan Manchester United merengkuh gelar ke-20 seperti yang telah diprediksi? Ya setidaknya saya sendiri yang berani memprediksi hal tersebut sejak gelar juara liga terpaksa kita ikhlaskan mampir ke lemari trophy tetangga. Saya sangat yakin, bahwa di musim berikutnya (musim ini) tiada lagi juara sejati yang akan muncul selain Manchester merah. Manchester is Red. That's it.

Sebelumnya harap dimaklumi jika ada rasa-rasa narsis, kebanggan berlebih, atau kelewat jumawa tercium dari tulisan ini. Yah bagaimana lagi, memang faktanya MU adalah penguasa daratan Inggris dan saya yang membuat tulisan ini adalah seorang fans Setan Merah. Dengan raihan 20 trophy liga maka tiada satu tim pun di daratan kerajaan ini yang mampu menyaingi MU. Penguntit terdekat adalah Liverpool dengan 18 trophy yang semuanya dimenangkan sebelum era EPL, dan Arsenal dengan 13 trophy, serta tim lainnya yang mungkin akan saya tulis jika ada yang sudah melampaui angka 10.

Bagaimanapun, demikian cerita yang terjadi di musim sekarang. Tapi, siapa yang akan tahu apa yang terjadi musim depan, bahkan saat ini dan beberapa detik lagi. Konstelasi persaingan di rimba premiere league memang sangat ketat. Sepakbola tak lagi sekedar permainan kerja sama 11 orang melawan 11 orang yang ditengahi oleh seorang wasit di lapangan. Sepakbola adalah industri, sepakbola adalah seni, sepakbola adalah kehidupan bagi mereka yang mencintainya.

Ketika jaman 2000-an awal kita mengenal sebutan group The Big Four dengan Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan Chlesea menyusun formasinya. Hal demikian karena konsekuensi dari teramat seringnya ke empat tim ini finish di deretan tabel teratas akhir musim dengan peringkat yang kadang bertukaran. Dengan MU yang paling sering berada di peringkat pertama. Well, ini dulu dan sekarang konsep ini tak lagi dikenal atau bahkan dibahas oleh media dan juga pengamat bola. Arus sejarah persaingan untuk menguasai premiere league mulai makin berwarna dengan adanya berbagai perkembangan. Salah satunya adalah sejak City menjadi klub kaya mendadak saat pertama dibeli mantan PM Thailand Thaksin Sinawatra, hingga kemudian berpindah kepemilikan ke milyuner UEA. Kekuatan City sebagai tim pun ikut bergerak naik teriring transfer besar-besaran para bintang pelaku bola. Hal yang hampir sama juga terjadi di tim London Biru yang dibeli milyuner super obsesif dari Rusia. Jika ada orang mengatakan uang tak dapat membeli prestasi, coba minta dia sejenak melihat ke belakang dan mempelajari bagaimana City dan juga Chelsea berusaha menguasai Inggris.

Ketika eksistensi sebuah klub diukur dengan trophy yang mereka raih, maka bersiaplah para pelaku sepakbola di dalamnya menjadi seorang 'pekerja'. Mereka dibayar karena bermain bola dan menunjukan performa mengkilap. 'Harga' seoarang pemain diukur dari seberapa besar kontribusi mereka ke tim, berapa menit mereka mendapat kesempatan bermain, berapa gol yang mereka (striker) buat ke gawang lawan, berapa assist yang mereka kreasi untuk melayani rekan setimnya, berapa jumlah passing yang dikirim (miedfilder) dan akurat diterima kawan, berapa jumlah gol kemasukan dan saves yang dibuat oleh seorang kiper, dan ukuran-ukuran data lain yang tersaji dalam angka yang detail akurat dan rapi. Data-data macam ini biasa di supply oleh lembaga statistik khusus sepak bola. Seperti EPL Index atau Opta. 

Hal lain yang menarik untuk dibicarakan adalah penampilan menonjol beberapa pemain di tim-tim medioker sepanjang musim. Contohnya, seorang penyerang Spanyol yang 'hanya' berharga 2 Juta Pound dan bermain 'hanya' di klub sekelas Swansea. Yang satu ini adalah conton istimewa bahwa sebuah kinerja dapat ditunjukan dengan usaha keras di klub manapun dia berada. Dengan total sejumlah 18 gol di buat, atau terpaut 8 gol dari RvP sebagai top skor musim 2012/2013 maka jumlah ini adalah angka yang luar biasa. Jangan lupa Michu sesungguhnya adalah seorang pemain tengah, dan musim ini adalah musim pertama dia bermain di premiere league. Pun begitu dia langsung berkontribusi dengan membawa timnya memperoleh trophy Piala Liga (Capital One Cup). Sebuah pencapaian yang impresif. 

Namun, satu kebiasaan yang seringkali terjadi adalah, klub-klub besar dengan financial yang kuat suka membajak pemain-pemain bintang di klub-klub medioker seperti ini. Karenannya bisa jadi jika Michu, C. Benteke, ataupun Gareth Bale akan bermain di tim yang lebih besar musim depan. Ya besar duitnya, dan besar sejarah prestasinya. Serta yang besar juga kesempatan tim tersebut memenangi berbagai trophy. Pemain sendiri pun biasanya juga tak keberatan untuk pindah, apalagi ke klub yang akan bermain di Liga Champions Eropa. Sebuah panggung maha mewah bagi mereka untuk pamer skill dan unjuk diri. Siapa tahu ada tim yang lebih besar tertarik menikmati jasa olah bola mereka. Begitulah industri sepakbola. 

No comments:

Post a Comment